Minggu, 23 September 2007

Percaya Anda Akan Sukses, Maka Anda Akan Benar-Benar Sukses

Kesuksesan berarti banyak hal yang mengagumkan dan positif, begitu kata David J. Schwartz dalam bukunya “The Magic Of Thinking Big”. Kesuksesan atau keberhasilan berarti pula kesejahteraan pribadi; memperoleh kehormatan; rasa hormat kepada diri sendiri dan terutama berarti kebebasan: kebebasan dari kekhawatiran, ketakutan frustasi dan kegagalan. Jika Anda telah merasakan hal-hal yang disebutkan tadi, maka boleh dikatakan Anda adalah orang sukses.

Keberhasilan berarti menang. Keberhasilan – prestasi—adalah tujuan hiup setiap manusia dan menginginkan hal terbaik dalam hidup ini.

Percaya bahwa Anda mampu memindahkan gunung, maka Anda akan mampu melakukannya. Kesangsian berjalan bersama-sama dengan kegagalan.

Mungkin Anda pernah mendengar orang berkata: “Omong kosong kalau Anda mengira dapat memindahkan gunung hanya dengan berkata ’Gunung, pindahlah!’ Benar-benar tidak mungkin.”

Mereka yang berpikir demikian berarti mengelirukan kepercayaan dengan angan-angan. Dan memang benar, Anda tidak dapat memindahkan gunung hanya dengan mengangankannya saja. Anda tidak akan mendapatkan pekerjaan lbih baik hanya dengan mengangankannya saja. Anda juga tidak akan pernah mendapatkan rumah besar hanya dengan mengangankannya saja.

Akan tetapi kita dapat memindahkan gunung dengan kepercayaan yang kuat. Cara terbaik untuk memperoleh keberhasilan adalah dengan percaya bahwa Anda dapat berhasil. Tidak ada yang gaib atau rahasia mengenai kekuatan kepercayaan.

Percayalah, bahwa Tuhan tidak akan pernah mengubah nasib Anda sampai Anda benar-benar mengubahnya. Percayalah kepada Tuhan Yang Maha Segalanya. Jangan berpasrah kepada nasib atau takdir, tetapi pasrahlah kepada Tuhan Yang Maha Besar. Berusahalah semaksimal mungkin, lalu berserah diri kepda Tuhan atas berubahnya nasib/takdir. Percayalah, Tuhan tak akan pernah mengingkari janji-janji-Nya.

Selengkapnya...

Entrepreneur Muslim dan Sifatnya

Entrepreneur atau pengusaha merupakan pelaku usaha yang mempunyai sifat dan jiwa tertentu yang lebih unggul dibandingkan dengan orang lain yang bukan seorang enterepreneur. Seorang entrepreneur (secara otomatis) mempunyai jiwa kepemimpinan yang memadai dan penuh kreatifitas serta motivasi yang tinggi. Sesungguhnya sifat-sifat tersebut telah dimiliki oleh setiap manusia yang dilahirkan di bumi ini, namun dengan porsi yang berbeda-beda. Dan tipe seorang entrepreneur sejati mempunyai porsi yang lebih besar dibandingkan dengan tipe manusia lain.

Selain mempunyai jiwa kepemimpinan dan penuh inovasi, seorang entrepreneur juga mempunyai sifat-sifat terpuji yang dalam Islam biasa disebut Akhlaqul Mahmudah. Sifat-sifat tersebut antara lain ulet, sabar, gigih, tekun, bermental positif, berpikir maju jujur, cerdas dan penuh tanggung jawab.

Seorang entrepreneur muslim semestinya mempunyai sifat-sifat yang telah disebutkan di atas. Entrepreneur muslim juga harus mempunyai pikiran yang maju dan berwawasan luas. Diapun mampu mampu untuk beradaptasi di berbagai zaman.

Sifat sabar seorang entrepreneur muslim seharusnya dimiliki dengan porsi ganda karena seorang entrepreneur merupakan orang yang mandiri dalam berbagai hal, termasuk mendirikan usaha. Ia juga mesti tahan banting dalam menghadapi ujian dan cobaan yang dating. Godaan dan ujian yang dating biasanya berbentuk kegagalan maupun cemoohan. Namun seorang entrepreneur sejati pasti tak akan menghiraukan kata “gagal” maupun kata-kata yang dapat menjadikannya lesu tak bergairah. Justru kegagalan maupun cemoohan baginya merupakan cambuk untuk bangkit dari keterpurukan akibat kegagalan. Ia akan senantiasa belajar dari kegagalan yang ia dapat, mengevaluasinya untuk kemudian bangkit dan berjuang hingga akhirnya mencapai kemenangan.

Bahkan beberapa entrepreneur tak pernah menganggap ada kegagalan dalam hidupnya. Kegagalan menurut mereka hanyalah anggapan orang lain, sementara dia sendiri menganggap kegagalan itu sebagai suatu proses untuk maju.

Seorang entrepreneur muslim perlu pula memiliki empat sifat Rasul yakni shidiq, tabligh, amanah, dan fathonah. Keempat sifat tersebut memiliki arti yang luas. Jika diterjemahkan dalam bahasa modern seperti sekarang, shidiq berarti dedikasi (kejujuran); amanah berarti bertanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat dan agama; tabligh berarti berusaha menyisipkan nilai dakwah dalam setiap usaha/bisnis yang dijalankannya; serta fathonah yang dapat diartikan mampu untuk beradaptasi dengan zaman modern dan berpikir maju serta cerdas.

Selengkapnya...

Sembilan Elemen Jurnalisme Dalam Dunia Cyber

Seorang jurnalis Muslim, idealnya harus memiliki empat sifat yang diwariskan oleh para Nabi dan Rasul yaitu Shiddiq (jujur dan benar dalam menyampaikan laporan), Tabligh (sampaikan secara lugas, apa adanya walaupun itu pahit), Amanah (bertanggung jawab atas seluruh tulisannya menyangkut nantinya mungkin terjadi pencemaran nama baik) dan Fathonah (cerdas dalam menyampaikan laporan). Idealnya seperti itu. Apalagi dalam dunia cyber yang mempunyai cakupan sangat luas ke seluruh etnik, agama, kepercayaan, dan ideologi yang berbeda-beda. Jika ada tanggapan laporan berupa cemooh, ejekan atau hinaan hendaknya ditanggapi dengan kepala dingin, balasan yang tak menyinggung perasaan dan sebagainya.


Dalam buku The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (April 2001) Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme.

Kesimpulan ini didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga tahun. Sembilan elemen ini sama kedudukannya. Tapi Kovach dan Rosenstiel menempatkan elemen jurnalisme yang pertama adalah kebenaran. Ironisnya, kebenaran yang ditempatkan di urutan tertinggi itu malah paling membingungkan. Padahal dalam Islam, kebenaran adalah hal yang hakiki.

Kebenaran dapat dipandang dari kacamata yang berbeda-beda. Tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran yang belum tentu persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering direvisi.

Namun apa yang dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah, fisika, biologi, bisa salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi.

Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan sebagainya.

Selain itu kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartawan memberitakan kecelakaan itu. Di mana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu mungkin ditanggapi oleh pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi. Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah ketika ada pembaca mengirim surat pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom opini. Demikian seterusnya.

Jadi kebenaran dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu, prosesnya lama. Tapi dari kebenaran sehari-hari ini pula terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap.

Kepada siapa wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakat?” Itulah elemen kedua: loyalitas kepada masyarakat.

Pertanyaan itu penting karena sejak 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi orang bisnis. Sebuah survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan setidaknya sepertiga waktu mereka buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme.

Ini memprihatinkan karena wartawan punya tanggungjawab sosial yang tak jarang bisa melangkahi kepentingan perusahaan di mana mereka bekerja. Walau pun demikian, dan di sini uniknya, tanggungjawab itu sekaligus adalah sumber dari keberhasilan perusahaan mereka. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri.

Mari melihat dua contoh. Pada 1893 seorang pengusaha membeli harian The New York Times. Adolph Ochs percaya bahwa penduduk New York capek dan tak puas dengan suratkabar-suratkabar kuning yang kebanyakan isinya sensasional. Ochs hendak menyajikan suratkabar yang serius, mengutamakan kepentingan publik dan menulis, “… to give the news impartiality, without fear or favor, regardless of party, sect or interests involved.”

Pada 1933 Eugene Meyer membeli harian The Washington Post dan menyatakan di halaman suratkabar itu, “Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat.”

Prinsip Ochs dan Meyer terbukti benar. Dua harian itu menjadi institusi publik yang prestisius sekaligus bisnis yang menguntungkan.

Elemen ketiga dari sembilan jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.
Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.

Mereka berpendapat, “saudara sepupu” hiburan yang disebut infotainment (dari kata information dan entertainment) harus dimengerti wartawan agar tahu mana batas-batasnya. Infotainment hanya terfokus pada apa-apa yang menarik perhatian pemirsa dan pendengar. Jurnalisme meliput kepentingan masyarakat yang bisa menghibur tapi juga bisa tidak.

Batas antara fiksi dan jurnalisme memang harus jelas. Jurnalisme tak bisa dicampuri dengan fiksi setitik pun. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh pengalaman Mike Wallace dari CBS yang difilmkan dalam The Insider. Film ini bercerita tentang keengganan jaringan televisi CBS menayangkan sebuah laporan tentang bagaimana industri rokok Amerika memakai zat kimia tertentu buat meningkatkan kecanduan perokok.

Elemen keempat: independensi. Kovach dan Rosenstiel berpendapat, wartawan boleh mengemukakan pendapatnya dalam kolom opini (tidak dalam berita). Mereka tetap dibilang wartawan walau menunjukkan sikapnya dengan jelas.
Kalau begitu wartawan boleh tak netral?

Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput.

Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas. Namun wartawan yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan.


ELEMEN jurnalisme yang kelima adalah memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas. Memantau kekuasaan bukan berarti melukai mereka yang hidupnya nyaman. Mungkin kalau dipakai istilah Indonesianya, “jangan cari gara-gara juga.” Memantau kekuasaan dilakukan dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi.

Salah satu cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting --sebuah jenis reportase di mana si wartawan berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.

Elemen keenam adalah jurnalisme sebagai forum publik. Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman dahulu banyak suratkabar yang menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik di mana orang-orang bisa datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan sebagainya. Di sana juga disediakan cerutu serta minuman.

Logikanya, manusia itu punya rasa ingin tahu yang alamiah. Bila media melaporkan, katakanlah dari jadwal-jadwal acara hingga kejahatan publik hingga timbulnya suatu trend sosial, jurnalisme ini menggelitik rasa ingin tahu orang banyak. Ketika mereka bereaksi terhadap laporan-laporan itu maka masyarakat pun dipenuhi dengan komentar –mungkin lewat program telepon di radio, lewat talk show televisi, opini pribadi, surat pembaca, ruang tamu suratkabar dan sebagainya. Pada gilirannya, komentar-komentar ini didengar oleh para politisi dan birokrat yang menjalankan roda pemerintahan. Memang tugas merekalah untuk menangkap aspirasi masyarakat. Dengan demikian, fungsi jurnalisme sebagai forum publik sangatlah penting karena, seperti pada zaman Yunani kuno, lewat forum inilah demokrasi ditegakkan.

Sekarang teknologi modern membuat forum ini lebih bertenaga. Sekarang ada siaran langsung televisi maupun chat room di internet. Tapi kecepatan yang menyertai teknologi baru ini juga meningkatkan kemampuan terjadinya distorsi maupun informasi yang menyesatkan yang potensial merusak reputasi jurnalisme.

elemen ketujuh bahwa jurnalisme harus memikat sekaligus relevan. Mungkin meminjam motto majalah Tempo jurnalisme itu harus “enak dibaca dan perlu.” Selama mengikuti kelas narasi itu, saya belajar banyak tentang komposisi, tentang etika, tentang naik-turunnya emosi pembaca dan sebagainya.

Memikat sekaligus relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap dua hal yang bertolakbelakang. Laporan yang memikat dianggap laporan yang lucu, sensasional, menghibur, dan penuh tokoh selebritas. Tapi laporan yang relevan dianggap kering, angka-angka, dan membosankan.

Padahal bukti-bukti cukup banyak, bahwa masyarakat mau keduanya. Orang membaca berita olah raga tapi juga berita ekonomi. Orang baca resensi buku tapi juga mengisi teka-teki silang. Majalah The New Yorker terkenal bukan saja karena kartun-kartunnya yang lucu, tapi juga laporan-laporannya yang panjang dan serius.

Kovach dan Rosenstiel mengatakan wartawan macam itu pada dasarnya malas, bodoh, bias, dan tak tahu bagaimana harus menyajikan jurnalisme yang bermutu.

Menulis narasi yang dalam, sekaligus memikat, butuh waktu lama. Banyak contoh bagaimana laporan panjang dikerjakan selama berbulan-bulan terkadang malah bertahun-tahun. Padahal waktu adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.

Elemen kedelapan adalah kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif. Kovach dan Rosenstiel mengatakan banyak suratkabar yang menyajikan berita yang tak proporsional. Judul-judulnya sensional. Penekanannya pada aspek yang emosional. Mungkin kalau di Jakarta contoh terbaik adalah harian Rakyat Merdeka. Suratkabar macam ini seringkali tidak proporsional dalam pemberitaannya.

Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh yang menarik. Suratkabar sensasional diibaratkan seseorang yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi ke tempat umum lalu melepas pakaian, telanjang. Orang pasti suka dan melihatnya. Pertanyaannya adalah bagaimana orang telanjang itu menjaga kesetiaan pemirsanya?

Ini berbeda dengan pemain gitar. Dia datang ke tempat umum, memainkan gitar, dan ada sedikit orang yang memperhatikan. Tapi seiring dengan kualitas permainan gitarnya, makin hari makin banyak orang yang datang untuk mendengarkan. Pemain gitar ini adalah contoh suratkabar yang proporsional.

Proporsional serta komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan berita utama, penilaiannya bisa berbeda antara si wartawan dan si pembaca. Pemilihan berita juga sangat subjektif. Kovach dan Rosenstiel bilang justru karena subjektif inilah wartawan harus senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan berita.

Warga bisa tahu kalau si wartawan mencoba proporsional atau tidak. Sebaliknya warga juga tahu kalau si wartawan cuma mau bertelanjang bulat.

SETIAP wartawan harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi, semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggungjawab sosial. Ini elemen yang kesembilan.

“Setiap individu reporter harus menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri dan berdasarkan model itulah dia membangun karirnya,” kata wartawan televisi Bill Kurtis dari A&E Network.

Menjalankan prinsip itu tak mudah karena diperlukan suasana kerja yang nyaman, yang bebas, di mana setiap orang dirangsang untuk bersuara. “Bos, saya kira keputusan Anda keliru!” atau “Pak, ini kok kesannya rasialis” adalah dua contoh kalimat yang seyogyanya bisa muncul di ruang redaksi.

Menciptakan suasana ini tak mudah karena berdasarkan kebutuhannya, ruang redaksi bukanlah tempat di mana demokrasi dijalankan. Ruang redaksi bahkan punya kecenderungan menciptakan kediktatoran. Seseorang di puncak organisasi media memang harus bisa mengambil keputusan –menerbitkan atau tidak menerbitkan sebuah laporan, membiarkan atau mencabut sebuah kutipan yang panas—agar media bersangkutan bisa menepati deadline.

Membolehkan tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan manajemen jadi lebih kompleks. Tapi tugas setiap redaktur untuk memahami persoalan ini. Mereka memang mengambil keputusan final tapi mereka harus senantiasa membuka diri agar tiap orang yang hendak memberi kritik atau komentar bisa datang langsung pada mereka.

Bob Woodward dari The Washington Post mengatakan, “Jurnalisme yang paling baik seringkali muncul ketika ia menentang manajemennya.”

Pada hari pertama Nieman Fellowship, Bill Kovach mengatakan pada 24 peserta program itu bahwa pintunya selalu terbuka. Terkadang dia sering harus mengejar deadline dan mengetik, “Raut wajah saya bisa galak sekali bila seseorang muncul di pintu saya. Tapi jangan digubris. Masuk dan bicaralah.”

Sumber: Sembilan Elemen Jurnalisme (Resensi Buku)

Selengkapnya...

Jumat, 21 September 2007

Lasykar Pembela Aides

Aku mahluk yang paling sering kalian jumpai dan paling sering kalian bunuh. Kalian, bangsa manusia, sepertinya sangat benci terhadap aku dan bangsaku. Setiap bertemu dengan bangsaku, kalian pasti sangat bernafsu membunuh dengan berbagai macam cara: menepuk dengan tangan, dengan alat tepuk yang memang dibuat khusus untuk membunuh kami, atau menyemprot kami dengan cairan entah apa. Aku kadang berpikir dan bertanya-tanya: apakah aku dan bangsaku diciptakan hanya untuk dibunuh?

Tubuhku memang amat ringkih. Bahkan bila dibandingkan dengan upil kalian, tubuhku tak seberapa. Namun dibalik ringkih tubuhku, kalian juga akan bertekuk lutut bila bangsaku sudah mulai bersujud beralaskan kulit kalian. Hm... tangan kalian pasti akan dengan gesit membunuhku.

Lewat mulutku yang runcing, aku mampu membuat tubuh kalian bentol-bentol, berkulit penuh bercak merah, muntah darah, bahkan berak darah. Dan lebih parah lagi, malah ada yang sampai mati. Hati-hati. Sekali lagi kuperingatkan untuk hati-hati terhadap aku dan bangsaku.

Perlu kalian ketahui, bangsa kalian bisa ada yang meninggal bukan karena kami balas dendam atau apa, melainkan salah kalian sendiri. Kenapa selokan sampai tergenang, tak pernah menutup kamar mandi atau tempat penampungan air, atau masih bandel tak mau mengubur barang-barang bekas yang dapat menampung air? Padahal kalian tahu, aku dan bangsaku berkembang biak di tempat-tempat yang ada air menggenang dan bening. Maka kami tak bisa disalahkan dong kalau kami bisa berkembang biak dengan pesat. Kalian juga tak perlu iri kalau jumlah kami terus bertambah setiap jam.

Apalagi kalian juga tahu kalau kami menghisap darah kalian juga untuk kelangsungan hidup kami? Ingat, Tuhan tidak pernah menyiksa suatu kaum, hingga kaum itu yang menyebabkannya. Camkan hal itu!

Dan dibalik ringkih tubuhku, kalian pun tak jarang yang begitu pintarnya mengeruk keuntungan material dari kematian bangsaku. Istilah lainnya, menari di atas kematian bangsa lain. Hitung saja, berapa banyak bangsa kalian yang membuat dan mengedarkan alat atau obat anti bangsaku? Kalian menyebutnya pabrik dengan tujuan mengentaskan pengangguran. Huh, dasar kalian memang licik! Pandai memutarbalikkan kepentingan! Belum lagi sekian banyak dari kalian yang mengambil profesi dari kematian bangsaku atau ada yang mengaku-aku berupaya menganalisis tubuh-tubuh bangsaku demi keseimbangan alam. Cih! Betapa piciknya kalian. Singkatnya, kalian harus sadar bahwa bangsaku membawa bencana dan manfaat yang besar untuk bangsa kalian.

Seperti yang telah kusebutkan di atas, alasan kami mengonsumsi darah kalian adalah untuk kelangsungan hidup kami. Seperti kalian yang sering pula menghisap darah sesama sampai tinggal tulang belulang. Juga untuk kelangsungan hidup, bukan? Hoho... meski kami butuh darah, kami tak pernah menghisap darah sesama lho.

Kalian mungkin bertanya-tanya, mengapa bangsaku memilih darah kalian untuk kelestarian hidup kami. Kenapa bukan darah mahluk lain saja: kambing, sapi, kerbau atau yang lainnya, yang pastinya tidak merugikan kalian? Hmm... asal kalian tahu saja, darah mahluk lain tak senikmat darah kalian, apalagi darah bayi yang bagi kami adalah makanan paling nikmat di dunia.

Mungkin kalian berpikir, kalau kalian membunuh kami sebagai aksi balas dendam atas perlakuan bangsa kami membunuh kalian juga? Jangan lupa, kami hidup juga butuh darah kalian. Dan kalian juga jangan seenaknya dong menyalahkan kami, karena ada juga mahluk lain yang memang ditakdirkan hidup dalam tubuh kami. Merekalah sesungguhnya yang membunuh kalian. Eh, kok malah cari kambing hitam? Sorry ya bukan maksudku ikut-ikutan kalian yang memang suka mencari-cari kambing hitam.

Sesungguhnya kami tak mau dan tak sudi jika selalu kalian bunuh dan kalian kambing hitamkan! Jujur saja, aku, mewakili seluruh bangsaku amat sangat benci sekali terhadap bangsa manusia yang sudah seenak udelnya membantai bangsaku. Tidak besar tidak kecil, tua muda sama saja: pembantai!

Karena itulah, aku dan teman-teman seperjuanganku sudah berencana membalas dendam kesumat bangsa kami yang sudah karatan dan mustahil untuk didamaikan. Kalian telah menginvasi bangsa kami, maka kami juga akan bergerilya membela bangsa kami. Kalian jangan mentang-mentang sebagai mahluk Tuhan yang paling sempurna lantas seenak udelnya memperlakukan mahluk lain. Ingat, kalian hidup di bumi bukan untuk merusaknya, tapi untuk melestarikan dan menjaganya. Ingat, itulah amanah Tuhan yang dipikulkan kepada kalian!

Aku dan teman-teman seperjuanganku berencana akan menyatroni bangsa kalian. Tapi kami sadar kalau kami tak mungkin bisa bekerja sendiri. Maka aku berinisiatif untuk mengumpulkan massa untuk menggempur bangsa kalian. Mungkin semacam partai atau lasykar di bangsa kalian. Kami menamai massa ini dengan nama Lasykar Pembela Aides (LPA). Kebetulan aku yang menjadi pemimpin sekaligus perintisnya, maka aku berkuasa penuh atas massa ini.

Aku sadar, pasti kami akan kalah. Tapi aku tak peduli! Lebih baik melawan daripada menjadi jajahan bangsa lain! Hisy kariiman au mut syahiidan! Hidup mulia atau mati syahid! Kata-kata ini yang aku doktrinkan kepada pemuda-pemudi yang siap membela bangsa kami. Kami hanya punya senjata satu: tekad kuat agar bisa mati syahid. Aku doktrinkan pula kepada mereka kalau perlawanan terhadap bangsa kalian adalah sebagai jihad yang akan diberi imbalan surga.

Suatu hari aku berencana mengumpulkan massa untuk menggempur bangsa kalian. Kuperintahkan seluruh staf jajaran LPA untuk mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya. Ternyata animo bangsaku untuk memerangi bangsa kalian sangat besar. Ribuan massa dari berbagai daerah berkumpul menjadi satu. Kami berkumpul di tempat yang lapang, yang tentu saja jauh dari komunitas bangsa kalian.

”Saudara-saudaraku searasa senasib dan sepenanggungan, apakah kalian tahu tujuan kalian berkumpul di tempat ini?” seruku mulai berorasi.

”Tahu...!” jawab mereka serempak.

”Untuk apa?”

”Berperang melawan mahluk sombong yang telah merusak bumi ini dengan aneka perbuatan mereka yang semena-mena merusak alam!” sahut seorang pemuda yang tampaknya begitu bersemangat.

”Siapa mahluk itu?”

”Manusia biadab!” sahut mereka serempak.

”Ya, benar! Mentang-mentang manusia sebagai mahluk paling sempurna, lantas sewenang-wenang bangsa kita. Kita akan buktikan kepada mereka meskipun tubuh kita lemah tak berdaging, tapi kita juga mahluk yang tak seenaknya dibantai! Setuju?”

”Setujuuuu!!!”

”Kita akan berperang melawan mereka. Kita juga mahluk yang berhak untuk hidup! Kita akan balik membantai mereka, agar mereka tak lagi seenaknya membantai bangsa kita! Demi kelangsungan peradaban kita, untuk anak cucu kita! Mari bersatu, menggempur musuh! Sanggupkah kalian?”

”Sangguuuupp!”

”Bagus, mari kita satukan tekad! Sisingkan lengan baju, kita hisap darah mereka sepuasnya! Kalau perlu sampai habis tinggal tulangnya saja! Kalau bisa, kita hancurkan saja peradaban mereka agar kita bisa hidup dengan tenang! Ingat! Mati ditepuk mereka adalah mati syahid! Setuju!!!”

”Setuju!”

Lalu orasi yang panjang dan penuh semangat menggebu-gebu berkumandang, memantul ke selokan-selokan, comberan-comberan, sungai-sungai kumuh, rawa-rawa, ke segala penjuru. Sampai datang bangsaku satu spesies. Mereka adalah Barisan Bela Bangsa Malaria (KBBM), Ikatan Pemuda Pemudi Cikungunya (IPPC) dan lain sebagainya. Rupanya mereka juga merasa serasa senasib dan sepenanggungan dengan kami sebagai bangsa yang tertindas.

Aku sebagai pemimpin LPA amat gembira bisa sampai membuat mereka terpanggil untuk bersatu melawan satu musuh. Maka seluruh pemimpin kelompok itu menyerahkan komando perang kepadaku. Aku sangat bangga bisa mengomando massa sebanyak ini.

Lalu kubagi-bagi massa ini menjadi delapan kelompok dan kutunjuk masing-masing kelompok satu komandan. Dan kuperintahkan mereka menyerang manusia lewat delapan penjuru angin. Aku sendiri sebagai panglima ikut menyerang ke arah barat. Sekali-sekali aku akan terbang ke atas untuk melihat perang ini.

Genderang perang sudah ditabuh. Kami sudah siap. Mati syahid adalah pilihan kami. Resiko mati sudah tak menjadi penghalang.

Kulihat di arah timur, pasukan Cikungunya menyerbu anak-anak yang sedang bermain di rawa-rawa. Dan di daerah selatan, kulihat pasukan Malaria menyerang seluruh penduduk, tak peduli tua muda kaya miskin sama saja. Kulihat perang ini begitu dahsyat. Seluruh kota tertutup oleh pasukanku. Dan satu per satu korban berjatuhan. Sudah bukan rahasia umum lagi kalau perang akan menyisakan dua kubu: yang menang jadi arang, dan yang kalah jadi abu. Aku sadar, mungkin pasukanku yang akan menjadi abu. Namun aku juga sadar, pasukanku tak takut mati lagi. Doktrin yang kuberikan begitu menghunjam ke dalam jiwa mereka.

Tiga hari tiga malam perang kami berlangsung. Aku lihat manusia-manusia sombong itu pontang-panting cari perlindungan. Ada yang ke warung beli obat bakar, ke rumah sakit beli suntikan, ke toko-toko beli penyemprot. Ah, aku gembira ternyata bangsa kami mampu mengocar-acirkan bangsa manusia. Bila teringat keangkuhan mereka yang menari-nari di atas penderitaan bangsa lain, aku tertawa. Lucu. Lucu sekali. Betapa kami yang kecil lemah tak berdaging mampu membunuh bangsa berdaging bertulang dan berakal. Aha, tak sia-sia aku menjadi panglima perang.

Hari keempat, tiba-tiba semprotan cairan menyerang kami. Ternyata manusia mengadakan perlawanan yang lebih keji. Seluruh pasukanku kalang kabut, semua mati mendadak. Aku panik. Tapi hal ini sudah kuduga sebelumnya. Ya, ini adalah resiko perang. Ah, begitu banyak korban berjatuhan. Aku sedih memikirkan pasukanku dan rekan-rekan seperjuanganku.

Udara menjadi begitu penuh dengan cairan mematikan ini. Aku pun mulai terkena imbasnya. Kepalaku mulai pening. Satu per satu kulihat pasukan di sampingku berjatuhan. Pasukanku menjerit-jerit minta tolong lalu gugur sebagai syahid. Berteriak dengan gempita, lalu gugur. Yang awalnya gagah perkasa menusukkan mulutnya kini tak bergerak. Hatiku miris tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan aku pun mulai merasa tak kuat lagi.

”Aduh! Sakit! Tolong! Tolooongg...!” Aku berteriak sekuatku. Serentak beberapa kawan mendekatiku dan memberi pertolongan. Tapi sepertinya aku tak sanggup lagi. Terlalu kuat cairan ini bereaksi dengan tubuhku. Tubuhku mulai lemas. Cukup sudah aku menyaksikan perang dan memimpin perang melawan bangsa yang angkuh dan pembantai. Aku sudah cukup puas. Aku bisa pergi dengan tenang.

Kusaksikan dengan mataku yang mulai berkunang, pasukanku kocar-kacir melarikan diri kesana kemari berusaha menyelamatkan diri. Satu persatu kawan-kawan seperjuanganku berguguran dan ada pula yang sempat menyelamatkan diri.

”Selamat tinggal bangsaku, teruskan perjuangan kita. Maafkan aku dengan ikhlas apabila sewaktu aku hidup bersalah kepada kalian. Sampaikan salamku pada semua bangsa kita untuk terus berjuang melawan mahluk sombong itu. Ingat pesanku, hisy kariiman au mut syahiidan!”

Selengkapnya...