Jumat, 21 September 2007

Lasykar Pembela Aides

Aku mahluk yang paling sering kalian jumpai dan paling sering kalian bunuh. Kalian, bangsa manusia, sepertinya sangat benci terhadap aku dan bangsaku. Setiap bertemu dengan bangsaku, kalian pasti sangat bernafsu membunuh dengan berbagai macam cara: menepuk dengan tangan, dengan alat tepuk yang memang dibuat khusus untuk membunuh kami, atau menyemprot kami dengan cairan entah apa. Aku kadang berpikir dan bertanya-tanya: apakah aku dan bangsaku diciptakan hanya untuk dibunuh?

Tubuhku memang amat ringkih. Bahkan bila dibandingkan dengan upil kalian, tubuhku tak seberapa. Namun dibalik ringkih tubuhku, kalian juga akan bertekuk lutut bila bangsaku sudah mulai bersujud beralaskan kulit kalian. Hm... tangan kalian pasti akan dengan gesit membunuhku.

Lewat mulutku yang runcing, aku mampu membuat tubuh kalian bentol-bentol, berkulit penuh bercak merah, muntah darah, bahkan berak darah. Dan lebih parah lagi, malah ada yang sampai mati. Hati-hati. Sekali lagi kuperingatkan untuk hati-hati terhadap aku dan bangsaku.

Perlu kalian ketahui, bangsa kalian bisa ada yang meninggal bukan karena kami balas dendam atau apa, melainkan salah kalian sendiri. Kenapa selokan sampai tergenang, tak pernah menutup kamar mandi atau tempat penampungan air, atau masih bandel tak mau mengubur barang-barang bekas yang dapat menampung air? Padahal kalian tahu, aku dan bangsaku berkembang biak di tempat-tempat yang ada air menggenang dan bening. Maka kami tak bisa disalahkan dong kalau kami bisa berkembang biak dengan pesat. Kalian juga tak perlu iri kalau jumlah kami terus bertambah setiap jam.

Apalagi kalian juga tahu kalau kami menghisap darah kalian juga untuk kelangsungan hidup kami? Ingat, Tuhan tidak pernah menyiksa suatu kaum, hingga kaum itu yang menyebabkannya. Camkan hal itu!

Dan dibalik ringkih tubuhku, kalian pun tak jarang yang begitu pintarnya mengeruk keuntungan material dari kematian bangsaku. Istilah lainnya, menari di atas kematian bangsa lain. Hitung saja, berapa banyak bangsa kalian yang membuat dan mengedarkan alat atau obat anti bangsaku? Kalian menyebutnya pabrik dengan tujuan mengentaskan pengangguran. Huh, dasar kalian memang licik! Pandai memutarbalikkan kepentingan! Belum lagi sekian banyak dari kalian yang mengambil profesi dari kematian bangsaku atau ada yang mengaku-aku berupaya menganalisis tubuh-tubuh bangsaku demi keseimbangan alam. Cih! Betapa piciknya kalian. Singkatnya, kalian harus sadar bahwa bangsaku membawa bencana dan manfaat yang besar untuk bangsa kalian.

Seperti yang telah kusebutkan di atas, alasan kami mengonsumsi darah kalian adalah untuk kelangsungan hidup kami. Seperti kalian yang sering pula menghisap darah sesama sampai tinggal tulang belulang. Juga untuk kelangsungan hidup, bukan? Hoho... meski kami butuh darah, kami tak pernah menghisap darah sesama lho.

Kalian mungkin bertanya-tanya, mengapa bangsaku memilih darah kalian untuk kelestarian hidup kami. Kenapa bukan darah mahluk lain saja: kambing, sapi, kerbau atau yang lainnya, yang pastinya tidak merugikan kalian? Hmm... asal kalian tahu saja, darah mahluk lain tak senikmat darah kalian, apalagi darah bayi yang bagi kami adalah makanan paling nikmat di dunia.

Mungkin kalian berpikir, kalau kalian membunuh kami sebagai aksi balas dendam atas perlakuan bangsa kami membunuh kalian juga? Jangan lupa, kami hidup juga butuh darah kalian. Dan kalian juga jangan seenaknya dong menyalahkan kami, karena ada juga mahluk lain yang memang ditakdirkan hidup dalam tubuh kami. Merekalah sesungguhnya yang membunuh kalian. Eh, kok malah cari kambing hitam? Sorry ya bukan maksudku ikut-ikutan kalian yang memang suka mencari-cari kambing hitam.

Sesungguhnya kami tak mau dan tak sudi jika selalu kalian bunuh dan kalian kambing hitamkan! Jujur saja, aku, mewakili seluruh bangsaku amat sangat benci sekali terhadap bangsa manusia yang sudah seenak udelnya membantai bangsaku. Tidak besar tidak kecil, tua muda sama saja: pembantai!

Karena itulah, aku dan teman-teman seperjuanganku sudah berencana membalas dendam kesumat bangsa kami yang sudah karatan dan mustahil untuk didamaikan. Kalian telah menginvasi bangsa kami, maka kami juga akan bergerilya membela bangsa kami. Kalian jangan mentang-mentang sebagai mahluk Tuhan yang paling sempurna lantas seenak udelnya memperlakukan mahluk lain. Ingat, kalian hidup di bumi bukan untuk merusaknya, tapi untuk melestarikan dan menjaganya. Ingat, itulah amanah Tuhan yang dipikulkan kepada kalian!

Aku dan teman-teman seperjuanganku berencana akan menyatroni bangsa kalian. Tapi kami sadar kalau kami tak mungkin bisa bekerja sendiri. Maka aku berinisiatif untuk mengumpulkan massa untuk menggempur bangsa kalian. Mungkin semacam partai atau lasykar di bangsa kalian. Kami menamai massa ini dengan nama Lasykar Pembela Aides (LPA). Kebetulan aku yang menjadi pemimpin sekaligus perintisnya, maka aku berkuasa penuh atas massa ini.

Aku sadar, pasti kami akan kalah. Tapi aku tak peduli! Lebih baik melawan daripada menjadi jajahan bangsa lain! Hisy kariiman au mut syahiidan! Hidup mulia atau mati syahid! Kata-kata ini yang aku doktrinkan kepada pemuda-pemudi yang siap membela bangsa kami. Kami hanya punya senjata satu: tekad kuat agar bisa mati syahid. Aku doktrinkan pula kepada mereka kalau perlawanan terhadap bangsa kalian adalah sebagai jihad yang akan diberi imbalan surga.

Suatu hari aku berencana mengumpulkan massa untuk menggempur bangsa kalian. Kuperintahkan seluruh staf jajaran LPA untuk mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya. Ternyata animo bangsaku untuk memerangi bangsa kalian sangat besar. Ribuan massa dari berbagai daerah berkumpul menjadi satu. Kami berkumpul di tempat yang lapang, yang tentu saja jauh dari komunitas bangsa kalian.

”Saudara-saudaraku searasa senasib dan sepenanggungan, apakah kalian tahu tujuan kalian berkumpul di tempat ini?” seruku mulai berorasi.

”Tahu...!” jawab mereka serempak.

”Untuk apa?”

”Berperang melawan mahluk sombong yang telah merusak bumi ini dengan aneka perbuatan mereka yang semena-mena merusak alam!” sahut seorang pemuda yang tampaknya begitu bersemangat.

”Siapa mahluk itu?”

”Manusia biadab!” sahut mereka serempak.

”Ya, benar! Mentang-mentang manusia sebagai mahluk paling sempurna, lantas sewenang-wenang bangsa kita. Kita akan buktikan kepada mereka meskipun tubuh kita lemah tak berdaging, tapi kita juga mahluk yang tak seenaknya dibantai! Setuju?”

”Setujuuuu!!!”

”Kita akan berperang melawan mereka. Kita juga mahluk yang berhak untuk hidup! Kita akan balik membantai mereka, agar mereka tak lagi seenaknya membantai bangsa kita! Demi kelangsungan peradaban kita, untuk anak cucu kita! Mari bersatu, menggempur musuh! Sanggupkah kalian?”

”Sangguuuupp!”

”Bagus, mari kita satukan tekad! Sisingkan lengan baju, kita hisap darah mereka sepuasnya! Kalau perlu sampai habis tinggal tulangnya saja! Kalau bisa, kita hancurkan saja peradaban mereka agar kita bisa hidup dengan tenang! Ingat! Mati ditepuk mereka adalah mati syahid! Setuju!!!”

”Setuju!”

Lalu orasi yang panjang dan penuh semangat menggebu-gebu berkumandang, memantul ke selokan-selokan, comberan-comberan, sungai-sungai kumuh, rawa-rawa, ke segala penjuru. Sampai datang bangsaku satu spesies. Mereka adalah Barisan Bela Bangsa Malaria (KBBM), Ikatan Pemuda Pemudi Cikungunya (IPPC) dan lain sebagainya. Rupanya mereka juga merasa serasa senasib dan sepenanggungan dengan kami sebagai bangsa yang tertindas.

Aku sebagai pemimpin LPA amat gembira bisa sampai membuat mereka terpanggil untuk bersatu melawan satu musuh. Maka seluruh pemimpin kelompok itu menyerahkan komando perang kepadaku. Aku sangat bangga bisa mengomando massa sebanyak ini.

Lalu kubagi-bagi massa ini menjadi delapan kelompok dan kutunjuk masing-masing kelompok satu komandan. Dan kuperintahkan mereka menyerang manusia lewat delapan penjuru angin. Aku sendiri sebagai panglima ikut menyerang ke arah barat. Sekali-sekali aku akan terbang ke atas untuk melihat perang ini.

Genderang perang sudah ditabuh. Kami sudah siap. Mati syahid adalah pilihan kami. Resiko mati sudah tak menjadi penghalang.

Kulihat di arah timur, pasukan Cikungunya menyerbu anak-anak yang sedang bermain di rawa-rawa. Dan di daerah selatan, kulihat pasukan Malaria menyerang seluruh penduduk, tak peduli tua muda kaya miskin sama saja. Kulihat perang ini begitu dahsyat. Seluruh kota tertutup oleh pasukanku. Dan satu per satu korban berjatuhan. Sudah bukan rahasia umum lagi kalau perang akan menyisakan dua kubu: yang menang jadi arang, dan yang kalah jadi abu. Aku sadar, mungkin pasukanku yang akan menjadi abu. Namun aku juga sadar, pasukanku tak takut mati lagi. Doktrin yang kuberikan begitu menghunjam ke dalam jiwa mereka.

Tiga hari tiga malam perang kami berlangsung. Aku lihat manusia-manusia sombong itu pontang-panting cari perlindungan. Ada yang ke warung beli obat bakar, ke rumah sakit beli suntikan, ke toko-toko beli penyemprot. Ah, aku gembira ternyata bangsa kami mampu mengocar-acirkan bangsa manusia. Bila teringat keangkuhan mereka yang menari-nari di atas penderitaan bangsa lain, aku tertawa. Lucu. Lucu sekali. Betapa kami yang kecil lemah tak berdaging mampu membunuh bangsa berdaging bertulang dan berakal. Aha, tak sia-sia aku menjadi panglima perang.

Hari keempat, tiba-tiba semprotan cairan menyerang kami. Ternyata manusia mengadakan perlawanan yang lebih keji. Seluruh pasukanku kalang kabut, semua mati mendadak. Aku panik. Tapi hal ini sudah kuduga sebelumnya. Ya, ini adalah resiko perang. Ah, begitu banyak korban berjatuhan. Aku sedih memikirkan pasukanku dan rekan-rekan seperjuanganku.

Udara menjadi begitu penuh dengan cairan mematikan ini. Aku pun mulai terkena imbasnya. Kepalaku mulai pening. Satu per satu kulihat pasukan di sampingku berjatuhan. Pasukanku menjerit-jerit minta tolong lalu gugur sebagai syahid. Berteriak dengan gempita, lalu gugur. Yang awalnya gagah perkasa menusukkan mulutnya kini tak bergerak. Hatiku miris tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan aku pun mulai merasa tak kuat lagi.

”Aduh! Sakit! Tolong! Tolooongg...!” Aku berteriak sekuatku. Serentak beberapa kawan mendekatiku dan memberi pertolongan. Tapi sepertinya aku tak sanggup lagi. Terlalu kuat cairan ini bereaksi dengan tubuhku. Tubuhku mulai lemas. Cukup sudah aku menyaksikan perang dan memimpin perang melawan bangsa yang angkuh dan pembantai. Aku sudah cukup puas. Aku bisa pergi dengan tenang.

Kusaksikan dengan mataku yang mulai berkunang, pasukanku kocar-kacir melarikan diri kesana kemari berusaha menyelamatkan diri. Satu persatu kawan-kawan seperjuanganku berguguran dan ada pula yang sempat menyelamatkan diri.

”Selamat tinggal bangsaku, teruskan perjuangan kita. Maafkan aku dengan ikhlas apabila sewaktu aku hidup bersalah kepada kalian. Sampaikan salamku pada semua bangsa kita untuk terus berjuang melawan mahluk sombong itu. Ingat pesanku, hisy kariiman au mut syahiidan!”

Tidak ada komentar: